Timbuktu Simbol Peradaban Islam yang Terlupakan
Dalam sejarahnya umat Islam memiliki peradaban yang
sangat tinggi, membentang dari ujung kepulauan Papua yang termasuk dalam
wilayah Kesultanan Ternate dan Tidore di sisi samudera pasifik sampai Kerajaan Maroko
di tepi Barat Afrika sisi samudera atlantik. Kekayaan yang dimiliki umat Islam
seluas kekuasaan ini bukan semata kekayaan alamnya yang memukau membentang di
sekitar garis khatulistiwa, akan tetapi juga pengaruhnya yang kuat pada sisi
politik, ekonomi, sosial dan budaya serta khazanah keilmuan yang diwarisi para
ulama-ulamanya, sehingga menjadikan umat Islam sempat disegani berabad-abad
lamanya. Satu diantara sekian banyak wilayah kekuasaan Umat
Islam yang menjadi pusat peradaban
dunia adalah Timbuktu.
Selain dikenal sebagai wilayah yang memiliki sejarah
keislaman yang kuat, pusat kekuasaan ekonomi dan politik,Timbuktu juga terkenal
pusat studi dunia khususnya wilayah Afrika barat.
Timbuktu merupakan sebuah wilayah yang dihuni oleh multi etnis
dari suku Songhay, Tuareg, Fulani dan Moor. Terletak sekitar 15 kilometer dari Sungai Niger, utara Mali berbatasan langsung dengan selatan gurun Sahara,
menjadikannya sebagai sebuah wilayah yang strategis dalam jalur perdagangan
Afrika Utara dan Barat. Mengingat hanya unta yang merupakan angkutan
transportasi efektif pada zaman tersebut di daerah ini, maka Timbuktu menjadi sebuah
tempat peristirahatan dan pertemuan antara para kafilah dagang Afrika utara dan
Afrika barat.
Pada mulanya Timbuktu merupakan satu diantara wilayah
penjelajahan suku Tuareg Imashagan sekitar abad ke-11 M untuk mengembalakan
hewan peliharaan mereka. Pada saat musim hujan mereka menjelajahi padang rumput
hingga ke Arawan, sedangkan ketika
musim kering tiba, mereka mendatangi sungai Niger untuk mencari rumput. Ketika
tinggal di sekitar sungai tersebut mereka terserang malaria akibat gigitan nyamuk. Dengan
kondisi yang kurang menguntungkan itu akhirnya mereka memutuskan untuk menetap
beberapa mil dari sungai Niger dan mulai menggali sebuah sumur.
Pada saat musim penghujan datang kembali,
mereka meninggalkan barang-barang perbekalan
mereka yang berat kepada seorang wanita tua penduduk setempat bernama Abutut yang tinggal di dekat sungai. Seiring dengan
berjalannya waktu,
nama Abutut berubah menjadi Buktu, sehingga secara bahasa Timbuktu berasal dari dua kata Tin
yang dalam bahasa arab (mengingat suku Tuareg bahasa kesehariannya pada saat
itu telah menggunakan bahasa arab) berarti tanah dan Buktu nama seorang wanita
tua penduduk setempat.
Dalam banyak catatan perjalanan sejarah
yang dituliskan oleh sejarawan Barat maupun Timur, seperti Hasan ibn
Muhammed al-Wazzan al-Fasi alias Leo Africanus atau Joannes Leo Africanus (seorang pengembara muslim terkenal
abad 16), Ibnu Batuta, Tahir Shah, Richard Jobson dan bahkan wartawan BBC Henry Louis Gates Jr dalam episode in to Africa, menggambarkan kejayaan Timbuktu ketika
itu, mulai dari
perdagangan emas yang
melimpah, gading, garam,
rempah-rempah, kain, buku hingga para budak yang akan dijual
ke Eropa melalui laut
Mediterania untuk ditukar dengan
keramik, gelas, serta batu-batu berharga lainnya, menyebabkan penduduk Timbuktu benar-benar
mencapai suatu tahap kemakmuran, sampai-sampai mereka berani menukar se-ons emas dengan garam, karena garam merupakan produk yang amat
bernilai pada saat itu. Bukan itu saja, bahkan sejak abad ke-11 M sampai pada abad ke-16 Timbuktu mulai menjadi pusat bisnis yang penting dan terkenal, tempat beragam barang dari Afrika
Barat dan Utara diperdagangkan dan hingga mendominasi perdagangan di Afrika.
Wilayah ini selain
dikenal dengan nama Timbuktu, dikenal juga
dengan nama Tomboctou yang berarti kaya dan memiliki julukan sebagai mutiara padang
pasir. Di sinilah Sultan Mansa Musa, seorang raja Mali bersama 8 ribu
tentara dan 60 ribu pengendara yang menunggangi 15
ribu unta beristirahat sebelum bertolak kembali pulang ke pusat
kota. Gambaran kekayaan dan kejayaan Timbuktu ini digambarkan oleh Richard
Jobson, pada tahun 1620, sebagai kota yang menjanjikan emas yang berlimpah.
Kabar ini tersiar sampai ke negeri Eropa. Timbuktu
digambarkan sebagai rumah-rumah yang berlapis
kepingan emas, sungainya kaya dengan berbagai macam logam berharga dan
gunungnya adalah ‘harta karun’ logam mulia.
Kabar luar biasa ini mendorong orang-orang Eropa untuk
mengunjungi dan mengadu nasib ke Timbuktu. Banyak diantara mereka
yang menemui ajal sebelum sampai ke
tujuan, meskipun ada
diantara mereka yang pada akhirnya sampai ke kota ini, mereka pada akhirnya
menyadari bahwa berita tersebut tidak sepenuhnya benar. Mereka menemukan kenyataan yang
berbeda dan mencengangkan. Kota
ini ternyata merupakan pusat jama’ah haji Afrika pertama yang akan berangkat
haji dan merupakan pusat studi islam dan ilmu-ilmu lainnya yang
berasal dari universitas islam terbaik abad
pertengahan.
Sejak abad ke-11 M, Timbuktu mulai
menjadi pelabuhan penting, tempat beragam barang dari Afrika Barat dan Utara
diperdagangkan. Pada saat
itu, garam merupakan komoditi
yang sangat bernilai harganya
sampai dijual atau ditukar dengan emas.
Kemakmuran kota itu menarik perhatian para ilmuwan, pedagang dan saudagar dari Arab dan Afrika Utara.
Garam, buku, dan emas menjadi tiga komoditas unggulan yang bernilai tinggi. Garam berasal dari wilayah Tegaza
dan emas diproduksi dari tambang di wilayah Boure dan Banbuk, Mali. Sedangkan buku-buku dicetak dan diproduksi oleh para ulama dan ilmuwan dari suku Sanhaja dan lainnya.
Proses
pembangunan yang dilakukan pertama kali di Timbuktu berlangsung pada awal abad
ke-12 M. Pada saat itu kerajaan Soso yang diserbu oleh kerajaan Ghana
kehilangan tempat berlindung sehingga menjadikan para ilmuwan yang berasal dari
wilayah Walata melakukan eksodus besar-besaran ke wilayah Timbuktu untuk
mencari tempat pelindungan. Para arsitek Afrika ini yang berasal dari wilayah
Djenne dan lainnya serta para arsitek Muslim dari Afrika Utara mulai membangun
Timbuktu sebagai suatu kota yang modern. Pembangunan ini menandai berkembangpesatnya perdagangan dan ilmu pengetahuan di Timbuktu.
Pada abad ke-14, Timbuktu
ditaklukkan oleh penguasa Songhai, Soni’ Ali yang juga menciptakan dinasti
Askia dengan penguasa yang pertama Muhammad I Askia. Pada masa dinasti inilah awal dari kejayaan Timbuktu.
Di era kejayaan Islam, Timbuktu juga
sempat menjadi sentra perdagangan terkemuka di dunia. Rakyat Timbuktu pun hidup
sejahtera dan makmur. Secara
gemilang, sejarawan Abad XVI, Leo Africanus, menggambarkan kejayaan Timbuktu
dalam buku yang ditulisnya. ''Begitu banyak hakim, doktor dan ulama di sini
(Timbuktu). Semua menerima gaji yang sangat memuaskan dari Raja Askia Muhammad,
penguasa Negeri Songhay. Raja pun menaruh hormat pada rakyatnya yang giat
belajar,'' tutur Africanus.
Mitos yang menyatakan
bahwa orang
hitam Afrika itu buta huruf dan bodoh terpatahkan oleh kenyataan dan fakta
sejarah yang ada. Justru pada saat Barat masih hidup dalam masa kegelapan dan
kebodohan, Afrika telah menjadi satu diantara pusat peradaban dunia pada abad
ke-13. Universitas-universitas yang berdiri dan berjaya dengan ilmu
pengetahuannnya menjadi kebanggaan umat Islam saat itu. Pada akhir abad
ke-13, Sultan Mansa Musa membangun sebuah menara untuk Masjid
Terbesar Jingerebir (Jami’ al Kabir) sebagai sebuah tempat berkumpul umat
islam ketika itu dan sebagai tempat
peristirahatan raja Madugu.
Sejak tahun 1.200-an Timbuktu menjelma
menjadi pusat peradaban Islam di Afrika
Barat. Puluhan ribu naskah, tulisan ataupun manuskrip dari berbagai cabang ilmu pengetahuan tersimpan dan tersedia
dengan rapi. Bahkan ribuan manuskrip tersebut masih disimpan secara turun-temurun
oleh penduduk setempat sampai
sekarang.
Selain dikenal
sebagai pusat perdagangan dan bisnis, Timbuktu menjelma menjadi pusat pembelajaran Islam dan tujuan para
musafir dari segala penjuru untuk singgah, belajar dan mendapatkan informasi
serta pengetahuan baru disini.
Tercatat sejak abad ke-12 M Timbuktu telah memiliki
180 sekolah dan tiga
universitas Islam kelas dunia, yang paling terkenal diantaranya adalah; Sankore University, Jingaray Ber University, dan Sidi
Yahya University. Inilah masa keemasan peradaban Islam di Afrika.
Dalam sebuah
artikelnya Tahir Shah menulis bahwa para pemimpin agama, hakim, dokter sampai
pekerja di kota ini adalah lulusan sekolah-sekolah ternama di Timbuktu. Para elit
terpelajar ini berasal dari sekolah-sekolah bisnis yang telah ada di kota
tersebut. Sankore bahkan menyediakan beasiswa bagi pelajar yang
tertarik dengan masalah administrasi sipil, peraturan perdagangan, ilmu
pemerintahan, perencanaan kota, ilmu arsitektur sampai ilmu menjahit.
Pada
pertengahan abad ke-16-yang juga disebut sebagai masa emas Timbuktu, kota ini
memiliki 150 buah sekolah dan kurikulum yang terarah. Selain ilmu-ilmu
agama, ilmu-ilmu lainnyapun seperti; sejarah,
matematika, astronomi juga berkembang dengan baik. Hubungan yang
unik dan erat antara murid dan guru yang disebabkan oleh kecintaan dan
penghormatan berlandaskan iman, menebarkan aroma kesantunan dan kepatuhan serta
kasih sayang ke seluruh penjuru Timbuktu. Bahkan, saat itu pelajar yang termuda
sekali pun dapat mengajarkan ilmu yang dimilikinya kepada pengembara dan
pedagang yang sedang berkunjung ke sana.
Dengan adanya
pedagang dan pengembara yang datang dan pergi menciptakan
sebuah asimilasi budaya, dengan masjid menjadi bagian terbesar terjadinya proses
asimilasi tersebut. Sebagai suatu contoh masyarakat Songhoi memiliki budaya ‘tutup
mulut’ untuk menandai permulaan bulan suci Ramadhan dan mengakhirinya dengan
budaya ‘buka mulut’.
Masjid dan perpustakaan di Timbuktu tidaklah saling berdiri sendiri. Masjid
dikenal sebagai pusat untuk mencari ilmu, sehingga perpustakaan pun menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari
masjid. Sebagai permisalan perpustakaan Sankore memiliki 700 volume buku yang tertulis
dalam bahasa Arab dan di kopi dengan tulisan tangan. Para pelajar berlomba-lomba mengkopi
buku-buku yang mereka perlukan untuk belajar.
Al Wazan mencatat bahwa saat itu di
Timbuktu, buku merupakan barang yang paling laris dibeli dibandingkan dengan
barang lain. Mendekati abad ke-19 Felix Dubois seorang
sejarawan Perancis menjelaskan
posisi Timbuktu yang sangat strategis
sebagai pusat perjalanan jamaah haji ke Mekkah, sehingga hal
tersebut memudahkannya untuk menyediakan
banyak buku-buku yang bermanfaat.
Guna memenuhi
permintaan masyarakat setempat akan beragam ilmu pengetahuan, maka pemerintah dan
para pedagang di Timbuktu banyak mendatangkan buku-buku dari wilayah Islam
lainnya. Selain itu, tidak sedikit pula buku-buku yang diperdagangkan
ketika itu adalah hasil karya para ilmuwan dan sarjana setempat, bahkan industri percetakan
buku telah ada di wilayah tersebut.
Beragam perpustakaan
dengan koleksi-koleksi buku dari berbagai disiplin ilmu yang ditulis oleh para ilmuwan
dan alim ulama, baik dalam lingkup universitas maupun pribadi banyak bermunculan
di wilayah ini. Sebagai suatu contoh Syekh Ahmad Baba seorang Ilmuwan terkemuka
di Timbuktu telah memiliki perpustakaan pribadi pada masa itu dengan jumlah
koleksi buku mencapai lebih dari 1.600 judul. Sebagai suatu catatan, bahwa Perpustakaan
Syekh Ahmad Baba hanya terdaftar sebagai satu diantara perpustakaan kecil yang
ada di Timbuktu.
Pada awal
permulaan abad ke-14 tepatnya tahun 1325 M, Timbuktu mulai dikuasai Sultan
Mali, Masa Mussa (1307 M-1332 M) yang lebih dikenal dengan Kan Kan Mussa. Sultan
Masa Mussa yang begitu terkesan dengan warisan Islam di Timbuktu, sehingga Sepulang
menunaikan ibadah haji di Makkah, beliau membawa seorang arsitek terkemuka asal
Mesir yang bernama Abu Ishaq As-Sahili untuk membangun Masjid Jingaray dan menggajinya
dengan 200 kilogram emas.
Dalam sebuah
catatan sejarah melalui kisah perjalanan yang ditulis oleh Ibnu Battuta maupun
Hasan ibn Muhammed al-Wazzan atau Joannes Leo Africanus, nama Timbuktu kian menyebar
ke seluruh penjuru dunia. Universitas Sankore yang dibangun pada tahun 1581 M menjadi
pusat perguruan tinggi pendidikan Islam dengan kajian utama Al Quran,
astronomi, logika, serta sejarah masih berdiri sampai saat ini di atas kota
kuno yang berdiri sejak abad 13-14 M. Satu diantara para tokoh cendekia dan
alim ulama ternama yang hidup masa itu adalah Syekh Ahmad Baba.
Dari puluhan
ribu manuskrip peninggalan masa keemasan Timbuktu yang terkenal adalah naskah
sejarah Tarikh Al-Fetash yang dibuat Mahmoud Kati pada abad ke-16 dan Tarikh
As-Sudan atau sejarah Sudan yang ditulis oleh Abdurrahman As-Sadi pada abad
17.
Sayangnya kejayaan kota
ini mulai memudar setelah para penjelajah dan pencari budak dari Portugis serta
beberapa negara Eropa lainnya mendarat di Afrika Barat. Mereka menciptakan
sebuah jalur alternatif melalui gurun pasir. Kejayaan Timbuktu mulai surut hancur,
luluh lantak lantaran perebutan kekuasaan yang terus menerus, terlebih saat
kota ini ditaklukkan oleh tentara Morisco (katolik Spanyol dan Portugis) untuk
kepentingan sultan Maroko dan imperialisme barat di akhir abad ke-16 tepatnya pada
tahun 1591 M. Mereka menginvasi Timbuktu hingga sebuah kebakaran hebat
memusnahkan seluruh sisa-sisa peradaban yang ada di kota tersebut.
Banyak para pelajar yang dipenjara
karena dicurigai memberontak, sebagian lain tewas dalam peperangan dan sisanya
lari ke Maroko. Pada tahun 1893, Suku Tuareg, Bambara dan Fulani kembali
merebut kota ini, sebelum akhirnya jatuh ke tangan Perancis. Sejak saat itu,
nama Timbuktu nyaris tak terdengar lagi.