Senin, 15 Oktober 2012


Timbuktu Simbol Peradaban Islam yang Terlupakan
Dalam sejarahnya umat Islam memiliki peradaban yang sangat tinggi, membentang dari ujung kepulauan Papua yang termasuk dalam wilayah Kesultanan Ternate dan Tidore di sisi samudera pasifik sampai Kerajaan Maroko di tepi Barat Afrika sisi samudera atlantik. Kekayaan yang dimiliki umat Islam seluas kekuasaan ini bukan semata kekayaan alamnya yang memukau membentang di sekitar garis khatulistiwa, akan tetapi juga pengaruhnya yang kuat pada sisi politik, ekonomi, sosial dan budaya serta khazanah keilmuan yang diwarisi para ulama-ulamanya, sehingga menjadikan umat Islam sempat disegani berabad-abad lamanya. Satu diantara sekian banyak wilayah kekuasaan Umat Islam yang menjadi pusat peradaban dunia adalah Timbuktu.
Selain dikenal sebagai wilayah yang memiliki sejarah keislaman yang kuat, pusat kekuasaan ekonomi dan politik,Timbuktu juga terkenal pusat studi dunia khususnya wilayah Afrika barat.
Timbuktu merupakan sebuah wilayah yang dihuni oleh multi etnis dari suku Songhay, Tuareg, Fulani dan Moor. Terletak sekitar 15 kilometer dari Sungai Niger, utara Mali berbatasan langsung dengan selatan gurun Sahara, menjadikannya sebagai sebuah wilayah yang strategis dalam jalur perdagangan Afrika Utara dan Barat. Mengingat hanya unta yang merupakan angkutan transportasi efektif pada zaman tersebut di daerah ini, maka Timbuktu menjadi sebuah tempat peristirahatan dan pertemuan antara para kafilah dagang Afrika utara dan Afrika barat.
Pada mulanya Timbuktu merupakan satu diantara wilayah penjelajahan suku Tuareg Imashagan sekitar abad ke-11 M untuk mengembalakan hewan peliharaan mereka. Pada saat musim hujan mereka menjelajahi padang rumput hingga ke Arawan, sedangkan ketika musim kering tiba, mereka mendatangi sungai Niger untuk mencari rumput. Ketika tinggal di sekitar sungai tersebut mereka terserang malaria akibat gigitan nyamuk. Dengan kondisi yang kurang menguntungkan itu akhirnya mereka memutuskan untuk menetap beberapa mil dari sungai Niger dan mulai menggali sebuah sumur. 
Pada saat musim penghujan datang kembali, mereka meninggalkan barang-barang perbekalan mereka yang berat kepada seorang wanita tua penduduk setempat bernama Abutut yang tinggal di dekat sungai. Seiring dengan berjalannya waktu, nama Abutut berubah menjadi Buktu, sehingga secara bahasa Timbuktu berasal dari dua kata Tin yang dalam bahasa arab (mengingat suku Tuareg bahasa kesehariannya pada saat itu telah menggunakan bahasa arab) berarti tanah dan Buktu nama seorang wanita tua penduduk setempat.
Dalam banyak catatan perjalanan sejarah yang dituliskan oleh sejarawan Barat maupun Timur, seperti Hasan ibn Muhammed al-Wazzan al-Fasi alias Leo Africanus atau Joannes Leo Africanus (seorang pengembara muslim terkenal abad 16), Ibnu Batuta, Tahir Shah, Richard Jobson dan bahkan wartawan BBC Henry Louis Gates Jr dalam episode in to Africa, menggambarkan kejayaan Timbuktu ketika itu, mulai dari perdagangan emas yang melimpah, gading, garam, rempah-rempah, kain, buku hingga para budak yang akan dijual ke Eropa melalui laut Mediterania untuk ditukar dengan keramik, gelas, serta batu-batu berharga lainnya, menyebabkan penduduk Timbuktu benar-benar mencapai suatu tahap kemakmuran, sampai-sampai mereka berani menukar se-ons emas dengan garam, karena garam merupakan produk yang amat bernilai pada saat itu. Bukan itu saja, bahkan sejak abad ke-11 M sampai pada abad ke-16 Timbuktu mulai menjadi pusat bisnis yang penting dan terkenal, tempat beragam barang dari Afrika Barat dan Utara diperdagangkan dan hingga mendominasi perdagangan di Afrika.
Wilayah ini selain dikenal dengan nama Timbuktu, dikenal juga dengan nama Tomboctou yang berarti kaya dan memiliki julukan sebagai mutiara padang pasir. Di sinilah Sultan Mansa Musa, seorang raja Mali bersama 8 ribu tentara dan 60 ribu pengendara yang menunggangi 15 ribu unta beristirahat sebelum bertolak kembali pulang ke pusat kota. Gambaran kekayaan dan kejayaan Timbuktu ini digambarkan oleh Richard Jobson, pada tahun 1620, sebagai kota yang menjanjikan emas yang berlimpah. Kabar ini tersiar sampai ke negeri Eropa. Timbuktu digambarkan sebagai rumah-rumah yang berlapis kepingan emas, sungainya kaya dengan berbagai macam logam berharga dan gunungnya adalah ‘harta karun logam mulia.
Kabar luar biasa ini mendorong orang-orang Eropa untuk mengunjungi dan mengadu nasib ke Timbuktu. Banyak diantara mereka yang menemui ajal sebelum sampai ke tujuan, meskipun ada diantara mereka yang pada akhirnya sampai ke kota ini, mereka pada akhirnya menyadari bahwa berita tersebut tidak sepenuhnya benar. Mereka menemukan kenyataan yang berbeda dan mencengangkan. Kota ini ternyata merupakan pusat jama’ah haji Afrika pertama yang akan berangkat haji dan merupakan pusat studi islam dan ilmu-ilmu lainnya yang berasal dari universitas islam terbaik abad pertengahan.
Sejak abad ke-11 M, Timbuktu mulai menjadi pelabuhan penting, tempat beragam barang dari Afrika Barat dan Utara diperdagangkan. Pada saat itu, garam merupakan komoditi yang sangat bernilai harganya sampai dijual atau ditukar dengan emas. Kemakmuran kota itu menarik perhatian para ilmuwan, pedagang dan saudagar dari Arab dan Afrika Utara.
Garam, buku, dan emas menjadi tiga komoditas unggulan yang bernilai tinggi. Garam berasal dari wilayah Tegaza dan emas diproduksi dari tambang di wilayah Boure dan Banbuk, MaliSedangkan buku-buku dicetak dan diproduksi oleh para ulama dan ilmuwan dari suku Sanhaja dan lainnya.
Proses pembangunan yang dilakukan pertama kali di Timbuktu berlangsung pada awal abad ke-12 M. Pada saat itu kerajaan Soso yang diserbu oleh kerajaan Ghana kehilangan tempat berlindung sehingga menjadikan para ilmuwan yang berasal dari wilayah Walata melakukan eksodus besar-besaran ke wilayah Timbuktu untuk mencari tempat pelindungan. Para arsitek Afrika ini yang berasal dari wilayah Djenne dan lainnya serta para arsitek Muslim dari Afrika Utara mulai membangun Timbuktu sebagai suatu kota yang modern. Pembangunan ini menandai berkembangpesatnya perdagangan dan ilmu pengetahuan di Timbuktu.
Pada abad ke-14, Timbuktu ditaklukkan oleh penguasa Songhai, Soni’ Ali yang juga menciptakan dinasti Askia dengan penguasa yang pertama Muhammad I Askia. Pada masa dinasti inilah awal dari kejayaan Timbuktu.
Di era kejayaan Islam, Timbuktu juga sempat menjadi sentra perdagangan terkemuka di dunia. Rakyat Timbuktu pun hidup sejahtera dan makmur. Secara gemilang, sejarawan Abad XVI, Leo Africanus, menggambarkan kejayaan Timbuktu dalam buku yang ditulisnya. ''Begitu banyak hakim, doktor dan ulama di sini (Timbuktu). Semua menerima gaji yang sangat memuaskan dari Raja Askia Muhammad, penguasa Negeri Songhay. Raja pun menaruh hormat pada rakyatnya yang giat belajar,'' tutur Africanus.
Mitos yang menyatakan bahwa orang hitam Afrika itu buta huruf dan bodoh terpatahkan oleh kenyataan dan fakta sejarah yang ada. Justru pada saat Barat masih hidup dalam masa kegelapan dan kebodohan, Afrika telah menjadi satu diantara pusat peradaban dunia pada abad ke-13. Universitas-universitas yang berdiri dan berjaya dengan ilmu pengetahuannnya menjadi kebanggaan umat Islam saat itu. Pada akhir abad ke-13, Sultan Mansa Musa membangun sebuah menara untuk Masjid Terbesar Jingerebir (Jami’ al Kabir) sebagai sebuah tempat berkumpul umat islam ketika itu dan sebagai tempat peristirahatan raja Madugu.
Sejak tahun 1.200-an Timbuktu menjelma menjadi pusat peradaban Islam di Afrika Barat. Puluhan ribu naskah, tulisan ataupun manuskrip dari berbagai cabang ilmu pengetahuan tersimpan dan tersedia dengan rapi. Bahkan ribuan manuskrip tersebut masih disimpan secara turun-temurun oleh penduduk setempat sampai sekarang.
Selain dikenal sebagai pusat perdagangan dan bisnis, Timbuktu menjelma menjadi pusat pembelajaran Islam dan tujuan para musafir dari segala penjuru untuk singgah, belajar dan mendapatkan informasi serta pengetahuan baru disini.
Tercatat sejak abad ke-12 M Timbuktu telah memiliki 180 sekolah dan tiga universitas Islam kelas dunia, yang paling terkenal diantaranya adalah; Sankore University, Jingaray Ber University, dan Sidi Yahya University. Inilah masa keemasan peradaban Islam di Afrika.
Dalam sebuah artikelnya Tahir Shah menulis bahwa para pemimpin agama, hakim, dokter sampai pekerja di kota ini adalah lulusan sekolah-sekolah ternama di Timbuktu. Para elit terpelajar ini berasal dari sekolah-sekolah bisnis yang telah ada di kota tersebut. Sankore bahkan menyediakan beasiswa bagi pelajar yang tertarik dengan masalah administrasi sipil, peraturan perdagangan, ilmu pemerintahan, perencanaan kota, ilmu arsitektur sampai ilmu menjahit.
Pada pertengahan abad ke-16-yang juga disebut sebagai masa emas Timbuktu, kota ini memiliki 150 buah sekolah dan kurikulum yang terarah. Selain ilmu-ilmu agama, ilmu-ilmu lainnyapun seperti; sejarah, matematika, astronomi juga berkembang dengan baik. Hubungan yang unik dan erat antara murid dan guru yang disebabkan oleh kecintaan dan penghormatan berlandaskan iman, menebarkan aroma kesantunan dan kepatuhan serta kasih sayang ke seluruh penjuru Timbuktu. Bahkan, saat itu pelajar yang termuda sekali pun dapat mengajarkan ilmu yang dimilikinya kepada pengembara dan pedagang yang sedang berkunjung ke sana.
Dengan adanya pedagang dan pengembara yang datang dan pergi menciptakan sebuah asimilasi budaya, dengan masjid menjadi bagian terbesar terjadinya proses asimilasi tersebut. Sebagai suatu contoh masyarakat Songhoi memiliki budaya ‘tutup mulut’ untuk menandai permulaan bulan suci Ramadhan dan mengakhirinya dengan budaya ‘buka mulut’.
Masjid dan perpustakaan di Timbuktu tidaklah saling berdiri sendiri. Masjid dikenal sebagai pusat untuk mencari ilmu, sehingga perpustakaan pun menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari masjid. Sebagai permisalan perpustakaan Sankore memiliki 700 volume buku yang tertulis dalam bahasa Arab dan di kopi dengan tulisan tangan. Para pelajar berlomba-lomba mengkopi buku-buku yang mereka perlukan untuk belajar.
Al Wazan mencatat bahwa saat itu di Timbuktu, buku merupakan barang yang paling laris dibeli dibandingkan dengan barang lain. Mendekati abad ke-19 Felix Dubois seorang sejarawan Perancis menjelaskan posisi Timbuktu yang sangat strategis sebagai pusat perjalanan jamaah haji ke Mekkah, sehingga hal tersebut memudahkannya untuk menyediakan banyak buku-buku yang bermanfaat.
Guna memenuhi permintaan masyarakat setempat akan beragam ilmu pengetahuan, maka pemerintah dan para pedagang di Timbuktu banyak mendatangkan buku-buku dari wilayah Islam lainnya. Selain itu, tidak sedikit pula buku-buku yang diperdagangkan ketika itu adalah hasil karya para ilmuwan dan sarjana setempat, bahkan industri percetakan buku telah ada di wilayah tersebut.
Beragam perpustakaan dengan koleksi-koleksi buku dari berbagai disiplin ilmu yang ditulis oleh para ilmuwan dan alim ulama, baik dalam lingkup universitas maupun pribadi banyak bermunculan di wilayah ini. Sebagai suatu contoh Syekh Ahmad Baba seorang Ilmuwan terkemuka di Timbuktu telah memiliki perpustakaan pribadi pada masa itu dengan jumlah koleksi buku mencapai lebih dari 1.600 judul. Sebagai suatu catatan, bahwa Perpustakaan Syekh Ahmad Baba hanya terdaftar sebagai satu diantara perpustakaan kecil yang ada di Timbuktu.
Pada awal permulaan abad ke-14 tepatnya tahun 1325 M, Timbuktu mulai dikuasai Sultan Mali, Masa Mussa (1307 M-1332 M) yang lebih dikenal dengan Kan Kan Mussa. Sultan Masa Mussa yang begitu terkesan dengan warisan Islam di Timbuktu, sehingga Sepulang menunaikan ibadah haji di Makkah, beliau membawa seorang arsitek terkemuka asal Mesir yang bernama Abu Ishaq As-Sahili untuk membangun Masjid Jingaray dan menggajinya dengan 200 kilogram emas.
Dalam sebuah catatan sejarah melalui kisah perjalanan yang ditulis oleh Ibnu Battuta maupun Hasan ibn Muhammed al-Wazzan atau Joannes Leo Africanus, nama Timbuktu kian menyebar ke seluruh penjuru dunia. Universitas Sankore yang dibangun pada tahun 1581 M menjadi pusat perguruan tinggi pendidikan Islam dengan kajian utama Al Quran, astronomi, logika, serta sejarah masih berdiri sampai saat ini di atas kota kuno yang berdiri sejak abad 13-14 M. Satu diantara para tokoh cendekia dan alim ulama ternama yang hidup masa itu adalah Syekh Ahmad Baba.
Dari puluhan ribu manuskrip peninggalan masa keemasan Timbuktu yang terkenal adalah naskah sejarah Tarikh Al-Fetash yang dibuat Mahmoud Kati pada abad ke-16 dan Tarikh As-Sudan atau sejarah Sudan yang ditulis oleh Abdurrahman As-Sadi pada abad 17.
Sayangnya kejayaan kota ini mulai memudar setelah para penjelajah dan pencari budak dari Portugis serta beberapa negara Eropa lainnya mendarat di Afrika Barat. Mereka menciptakan sebuah jalur alternatif melalui gurun pasir. Kejayaan Timbuktu mulai surut hancur, luluh lantak lantaran perebutan kekuasaan yang terus menerus, terlebih saat kota ini ditaklukkan oleh tentara Morisco (katolik Spanyol dan Portugis) untuk kepentingan sultan Maroko dan imperialisme barat di akhir abad ke-16 tepatnya pada tahun 1591 M. Mereka menginvasi Timbuktu hingga sebuah kebakaran hebat memusnahkan seluruh sisa-sisa peradaban yang ada di kota tersebut.
Banyak para pelajar yang dipenjara karena dicurigai memberontak, sebagian lain tewas dalam peperangan dan sisanya lari ke Maroko. Pada tahun 1893, Suku Tuareg, Bambara dan Fulani kembali merebut kota ini, sebelum akhirnya jatuh ke tangan Perancis. Sejak saat itu, nama Timbuktu nyaris tak terdengar lagi.